Kelumpuhan perekonomian sebuah negara akan menyulitkan baik dari pemerintahannya maupun bagi warganya. Karena akan menjadi pekerjaan rumah yang membutuhkan waktu lama pastinya. Seperti yang kita ketahui yaitu negara yang mengalami krisis ekonomi salah satu contohnya adalah Venezuela.
Venezuela adalah salah satu negara penghasil minyak terbesar pertama yaitu sebesar 300 miliar barrel, angka ini melampaui Arab Saudi (266 miliar barrel), Iran (158 miliar barrel), dan Irak (142 miliar barrel) menurut data Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada tahun 2015.
Sehingga sejak kekayaan seumber daya minyak ini menjadi salah satu penyumbang pemasukan ekspor terbesar yaitu 95% dari total ekspor. Sehingga banyak uang yang masuk ke dalam pemerintahan Venezuela. Namun hasil dari ekspor ini tidak digunakan untuk meningkatkan infrastruktur agar dapat mempertahankan nilai ekspornya dari tahun ke tahun, melainkan sebagaian dana itu digunakan untuk membiayai sejumlah program sosial guna mengurangi ketidaksetaraan dan kemiskinan. Karena di Venezuela mayoritas warganya menjadi pengusaha, sehingga yang miskin semakin miskin. Hal ini membuat Presiden Hugo Chaves saat menjabat pada tahun 1999 sampai tahun 2013 membuat kebijakan bahwa pemerintah menetapkan harga barang dan jasa.
Kepedulian pemerintah yang memikirkan semua warganya harus ada kesetaraan ekonomi tak selamanya membawa dampak baik. Adanya penetapan harga menyebabkan banyak perusahaan yang gulung tikar karena tidak mampu meraup keuntungan.
Venezuela yang memiliki pasokan minyak terbesar pun harus mengalami masa-masa pahit ketika di tahun 2014, dimana penurunan harga minya yang anjlok dari harga 115 dollar per barrel hingga menyentuh harga setengahnya dari tahun 2014 yang menyebabkan perekonomian Venezuela anjlok 10%.
Berikut adalah indikator yang menentukan suatu negara mengalami krisis yaitu:
Uang kertas bolivar hampir tidaka da nilainya, dan pada saat ini bolivar merupakan mata uang dengan nilai tukar paling rendah di dunia. Jika 1 USD sama dengan Rp. 14.348 per tanggal 29 Agustus 2018, sedangkan untuk mendapatkan 1 dollar di Venezuela warganya harus mengeluarkan uang sebesar 248.520 atau di rupiahkan menjadi Rp. 60.637.325. Sehingga kebijakan yang diambil untuk meredam hiperinflasi ini adalah dengan mencetak uang baru yang disebut “sovereign bilivar” oleh Presiden Venezuela Nikolas Maduro. DImana mata uang baru ini dipangkas 5 angka 0 di belakang mata uang lama. Misalkan 1 juta bolivar menjadi 10 bolivar. Tetapi warga dibatasi untuk menukarkan mata uang lama dengan mata uang baru hanya sebesar 10 bolivar saja.
Baca Juga: Inilah Negara Yang Masuk Fragile Five
Venezuela mengalami hiperinflasi yaitu sebesar 82.766% per Juli 2018. Penyebab inflasi ini adalah, nilai mata uang ini adalah pemerintah yang menyetak uang sebanyak-banyaknya, sehingga penyebabkan penawaran mata uang ini terlalu tinggi yang tidak diimbangin dengan jumlah permintaan mata uangnya. Bahkan harga tisu toilet di banderol seharga 2,7 juta sedangkan harga daging ayam seharga 14,6 juta.
Cadangan devisa memang menjadi sosortan karena bertujuan untuk menjaga kestabilan nilai mata uang suatau negara. Kondisi cadangan devisa Venezuela mengalami titik terendahnya selama 20 tahun terakhir. Cadangan devisa yang bisa digunakan ketika krisis berada di level US$ 10 miliar. Persediaan ini akan terus berkurang di tengah banyaknya utang yang akan jatuh tempo tahun ini yang mencapai US$5 miliar.
Pada tahun 2014, Venezuela pernah mendapat pinjaman dari China sebesar US$ 50 miliar dan sekitar US$ 5 miliar dari Rusia. Pinjaman tersebut digunkan untuk membayar utang pada kreditur minyak dan bahan bakar minyak. Ketika mendapat pinjaman tersebut harga minyak dunia sedang naik sedangkan ketika jatuh tempo ini harga minyak mengalami penurunan.
Sehingga kekhawatiran Venezuela adalah semakin menipisnya cadangan devisa dan yang paling parah adalah tidak dapat melunasi utang. Bahkan Lembaga Pemeringkat Moody’s merevisi outlook Venezuela dari stabil menjadi negative karena tingginya kemungkinan gagal bayar.