Tidak hanya dalam peperangan yang membutuhkan strategi untuk bisa memukul mundur lawan perang, tetapi juga dalam berinvestasi juga membutuhkan strategi.
Kenapa kita membutuhkan strategi? Karena kondisi perekonomian terkadang tidak bisa diprediksi dan bisa berubah-ubah setiap waktu. Maka dengan strategi investasi kita mampu mempersiapkan dana yang kita butuhkan, mengoptimalkan keuntungan dan juga meminimalisir risiko akibat fluktuatif kondisi ekonomi.
Dalam berinvestasi ada beberapa jenis strategi yang biasa digunakan dalam berinvestasi reksadana. Strategi investasi yang biasa digunakan antara lain Lump sum, Rupiah Averaging Cost, dan Value Cost Averaging.
Strategi investasi diatas memiliki keunggulan dan kekurangan jika diterapkan pada kondisi pasar tertentu. Meskipun reksadana telah dikelola oleh manajer investasi namun yang menentukan besarnya profit yang ingin kita capai tetap investor itu sendiri.
Berikut ini adalah strategi yang biasa digunakan dalam berinvestasi reksadana:
Strategi lump sum adalah strategi investasi yang mana investor hanya sekali menyetorkan uang kedalam instrument investasi, dan dalam beberapa waktu kedepan tidak akan menambah jumlah investasinya. Misalnya investor menyetor 100 juta langsung di awal investasi baik dalam 1 jenis investasi atau bisa juga beberapa jenis investasi.
Jika kondisi pasar dalam keadaan naik maka anda bisa berpotensi bisa menerima keuntungan yang besar. Strategi investasi ini tidak cocok dalam kondisi pasar yang turun.
Sebagai contoh:
Pak adit menginvestasikan 20 juta ke dalam reksadana Grow 2 Prosper dengan nilai NAB pada tanggal 29 September 2015 sebesar 2125,94 dan menjualnya pada 1 Maret 2018 dengan NAB sebesar 2938,96. Maka keuntungan yang didapat selama kurang lebih 3 tahun yaitu Rp 7.648.570.
Namun jika pak Adit salah timing yang kurang tepat, bisa jadi kondisi nya menurun sehingga nilai investasi anda akan tergerus dengan penurunan NABnya.
Strategi ini juga cara yang populer dalam berinvestasi di reksadana. Konsep dai strategi ini adlah dengan melakukan investasi secara rutin dalam jumlah nominal yang sama tanpa memperdulika nilai NAB pada saat itu.
Strategi ini akan memberikan return yang lebih rendah daripada lump sum namun bisa juga lebih besar jika tren penurunan selesai dan berubah arah menjadi naik. Strategi Rupiah Averaging Cost cocok dilakukan dalam jangka panjang karena hasil yang didapatkan akan optimal.
Serta strategi ini akan lebih efektif jika kondisi pasar sangat fluktuatif. Sehingga jika pasar sedang dalam keadaan bearish (menurun), seharusnya kita tidak perlu panik, anda bisa melakukan strategi. Karena dengan jangka waktu yang pendek kita tidak bisa langsung mendapat keuntungan tetapi dengan jangka waktu panjang dan investasi berkala akan optimal hasilnya.
Sebagai contoh:
Bulan Januari, harga reksadana saham G-2P Rp. 1.500. Investor menyetor uang nya sebesar Rp. 1.000.000, maka Pak Adit akan mendapatkan Rp. 1.000.000/Rp. 1.500 = 666,67 unit
Bulan Februari, harga reksadana saham G-2P Rp. 1.250. Investor tetap menyetor uang sebesar Rp. 1.000.000, maka Pak adit akan mendapatkan Rp. 1.000.000/Rp. 1.250 = 800 unit
Strategi investasi Value Cost Averaging, hampir sama dengan strategi Rupiah Cost Averaging yaitu dengan melakukan investasi secara berkala. Perbedaaannya adalah pada jumlah dana yang disetorkan setiap bulan. Pada strategi Rupiah Cost Averaging menyetorkan jumlah unag yang sama setiap periodenya, sedangkan Value Cost Averaging investor berfokus pada jumlah unit yang didapat sama setiap periodenya.
Sebagai contoh:
Bulan Januari, harga reksadana saham G-2P Rp. 1.500, maka Pak Adit harus berinvestasi sebesar 1000 unit x Rp. 1.500 = Rp. 1.500.000
Bulan Februari harga reksadana saham G-2P Rp. 1.250, maka Pak Adit harus berinvestasi sebesar
1000 unit x Rp. 1.250 = Rp. 1.250.000