Krisis ekonomi memang sedang melanda kebanyakan negara-negara berkembang, setelah sebelumnya Turki dan Venezuela. Saat ini tersontak berita mengenai huru-hara dari negara Maradona. Hal ini karena kebanyakan dari negara berkembang yang ketergantungan pada dollar, sehingga ketika Amerika Serikat akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan fiskal banyak negara berkembang tersebut yang kewalahan dalam mengatur kebijakan ekonomi di negaranya agar tetap stabil.
Kecemasan investor terhadap Argentina gagal bayar dalam melunasi utang luar negeri dan puncak gejolak perekonomian di Argentina ini ketika Presiden Argentina Maurico Macri yang membacakan pidato 2 menit yang berisi kesepakatan IMF Argentina akan mempercepat pencairan pinjaman sebesar US$ 50 miliar.
Bila negara tersebut membuat kebijakan antisipasi dari gempuran negara maju maka akan berimbas pada tingkat inflasi, nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, defisit neraca transaksi berjalan dan juga melonjaknya utang luar negeri.
Berikut ini adalah beberapa tanda-tanda Argentina akan mengalami krisi ekonomi:
Bermula karena pidato dari presiden dari Maricu Macri yang menandatangani kesepakatan pencairan pembiayaan siaga untuk dipercepat dengan International Money Fund, membuat banyak investor yang menurun kepercayaan pada Negara Tango ini untuk melunasi utang luar negeri bahkan ada kemungkinan gagal bayar, dan kekhawatiran dalam mengendalikan inflasi dan dan kebijakan-kebijkan Amerika Serikat yang membuat banyak mata uang negara berkembang bertekuk lutut. Peso Argentina menjadi salah satu mata uang yang mengalami penurunan terbesar di dunia sejak awal tahun. Penurunan mata uang Argentina sebesar 31,7% lebih besar dibandingkan Lira Turki yang sebesar 21,45% serta mata uang negara berkembang lainnya.
Penyebab lainnya dalah karena negara di Amerika Selatan terutama Argentina sangat bergantung pada dollar AS.
Baca Juga : Krisis Venezuela yang Terlalu Baik Dengan Warganya
Tingkat inflasi di Argentina mencapi 25,4% yang membuat negara ini sangat rentan dengan berbagai kebijakan dari negara- negara adikuasa. Dan kesalahan yang dibuat adalah dalam bertahun-tahun Argentina mencetak uang untuk membiayai defisit sehingga menyebabkan inflasi terus melonjak.
Meskipun sudah mengurangi praktik tersebut sebagai upaya mengurangi subsidi, nilai barang dan inflasi tetap tinggi.
Bahkan Bank Sentral Argentina menaikkan suku bunga bank sebesar 15% ke level 60%.
Dalam rangka meredam depresiasi peso lebih dalam, Bank Sentral Argentina telah mengeluarkan cadangan devisanya sebesar US$ 200 juta atau sekitar Rp. 2,9 triliun.Hal ini menyebabkan penurunan pada cadangan devisa. Sebelumnya juga Argentina pernah menggelontorkan cadangan mencapai US$12,88 miliar. Namun cara tersebut tidak membuahkan hasil, alhasil Presiden Argentina mencari bantuan ke IMF dengan mengajukan pinjaman sekitar US$ 50 miliar .
Negera berkembang yang satu ini memiliki utang dengan persentase 48% adalah utang luar negeri dengan denominasi dollar dimana jumlah utang per Maret sebesar US$ 253,74 miliar. Dengan semakin merosotnya nilai tukar peso terhadap Rupiah maka beban pinjaman pokok serta buanga yang harus dibayarkan pun akan meningkat. Bahkan Argentina pernah mengalami masa kelam di tahun 2001 sebesar US$ 82 miliar.
Krisis keuangan di Argentina disebabkan beberapa faktor terutama indikator ekonomi sutau negara itu sendiri diantaranya Current Account Defisit (CAD) dimana Argentina mengalami defisit sebesar 4,8%. Inflasi pun juga termasuk tinggi di angka 25,4% ditambah lagi kekeringan yang melanda Argentina menyebabkan penyumbang pendapatan tertinggi seperti jagung dan kedelai mengalami penurunan hasil panen.
Pada tahun 2017 Argentina mengalami pertumbuhan yang bagus namun pada kuartal II tahun 2018 hanya mencatatkan 3,6% lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia yang sebsar 5,27%.
Lalu apa imbas dari krisisnya negara-negara berkembang ke Indonesia?
Krisis keuangan di Negeri Maradona ini memberikan imbas pada terhambatnya aliran modal terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena berpotensi mempengaruhi pasar keuangan.
Namun demikian Indonesia juga perlu antisipasi uang investasi asing yang keluar. Meskipun negara-negara berkembang ini seperti Turki, Venezuela dan negara-negara Amerika Latin tidak berdampak terlalu dalam. Namun dilihat dari nilai tukar Rupiah memang semakin menurun hingga menyentuh level 14.655 per 31 Agustus 2018. Dan menjadi kekhawatiran dari sisi rumah tangga yaitu dengan adanya kenaikan barang-barang impor dan komoditas import. Tetapi yang menjadikan Indonesia optimis terbebas dari krisis karena pertumbuhan ekonomi yang berada diatas lima persen dan inflasi yang masih tergolong rendah sebesar 3,25%.